MAHADALYASSUNNIYYAH.AC.ID, Kencong.
Seorang penulis Wahabi pernah menulis gugatannya di majalah As Syari’ah (majalah milik mereka) mengenai amaliah tawassul kepada Nabi Muhammad SAW setelah meninggalnya beliau. Penulis tersebut berkata:
“Sungguh semuanya merupakan perangkap syetan dan tipu muslihatnya untuk menyesatkan kaum muslimin dari kebenaran agamanya, merusak akal dan merusak dirinya, padahal Allah SWT berfirman:
وَمَا يَسْتَوِي الْأَحْيَاء وَلَا الْأَمْوَاتُ إِنَّ اللَّهَ يُسْمِعُ مَن يَشَاء وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّن فِي الْقُبُور
“Dan tidaklah sama antara orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati. Sesungguhnya Allah bisa memperdengarkan siapa saja yang dikehendakinya dan kamu tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada di dalam kubur”. (QS. al-Fathir (35) : 22)
Dirinya menyetir ayat di atas untuk mengharamkan bahkan mensyirikkan tawassul. Secara literal, ayat di atas menegaskan perbedaan antara orang yang masih hidup dan sudah meninggal. Pada akhir ayat ditegaskan jika seseorang tidak akan bisa memperdengarkan siapa yang ada di dalam kubur.
Dia menyimpulkan, dengan demikian bertawassul dengan orang yang sudah meninggal, walaupun seorang nabipun, hukumnya tidak diperbolehkan, karena Al-Qur’an telah membedakan antara orang hidup dan mati, bahkan tidak bisa memperdengarkan sesuatu kepada orang yang meninggal. Dia berpendapat tawassul yang boleh hanyalah kepada orang yang masih hidup.
Tentu apa yang dikatakan penulis wahabi tersebut tentang pelarangan tawassul dengan ayat tersebut tidaklah tepat. Secara literal memang ayat itu menunjukkan ketidaksamaan antara orang hidup dengan orang mati. Tapi yang perlu dikaji disini adalah, siapa yang dimaksud orang hidup dan orang mati dalam ayat tersebut dan dalam hal apa mereka tidak sama? Apakah pemahaman kelompok Wahabi sesuai dengan para pakar tafsir prihal ayat tersebut diarahkan kepada pelarangan tawassul?
Setelah mengkroscek kitab-kitab tafsir baik dari kalangan Ahlussunnah Wal Jama’ah atau dari tokoh-tokoh wahabi sendiri, ada tiga pendapat tentang maksud orang hidup dan mati dalam ayat tersebut :
Pertama, yang dikehendaki dengan orang hidup dan orang mati tersebut adalah orang-orang mu’min dan orang-orang kafir. Sedangkan ketidaksamaan mereka adalah dalam hal menerima hidayah.
Kedua, yang dikehendaki dengan orang hidup adalah ulama dan orang mati adalah orang-orang bodoh.
Ketiga, yang dikehendaki dengan orang hidup adalah orang-orang berakal dan orang mati adalah orang-orang bodoh.
Dengan demikian, setiran ayat tersebut tidak pada tempatnya, sebab ruang lingkupnya masih membahas orang yang sama-sama hidup, sedangkan menamakan orang kafir dengan orang mati sekedar majaz.
Berikut kutipkan tafsiran Imam As Syaukani terhadap ayat tersebut dalam kitab Fathul Qodir hal 134 juz 6 :
ثُمَّ ذَكَرَ سُبْحَانَهُ تَمْثِيْلاً آخَرَ لِلْمُؤْمِنِ ، وَالْكَافِرِ ، فَقَالَ : { وَمَا يَسْتَوِى الْأحْيَاءُ وَلاَ الْأمْوَاتُ } ، فَشَبَّهَ الْمُؤْمِنِيْنَ بِالْأحْيَاءِ ، وَشَبَّهَ الْكَافِرِيْنَ بِالْأمْوَاتِ . وَقِيْلَ : أرَادَ تَمْثِيْلَ الْعُلَمَاءِ ، وَالْجَهَلَةِ . وَقَالَ ابْنُ قُتَيْبَةَ : الْأحْيَاءُ الْعُقَلاَءُ ، وَالْأمْوَاتُ الْجُهَّالُ . قَالَ قَتَادَة : هذِهِ كُلُّهَا أمْثَالٌ ، أيْ : كَمَا لاَ تَسْتَوِي هذِهِ الْأشْيَاءُ كَذَلِكَ لاَ يَسْتَوِي الْكَافِرُ وَالْمُؤْمِنُ { إِنَّ الله يُسْمِعُ مَن يَشَاء } أنْ يُسْمِعَهُ مِنْ أوْلِيَائِهِ الَّذِيْنَ خَلَقَهُمْ لِجَنَّتِهِ ، وَوَفَّقَهُمْ لِطَاعَتِهِ { وَمَا أَنتَ بِمُسْمِعٍ مَّنْ فِى الْقُبُوْرِ } يَعْنِي : الْكُفَّارَ الَّذِيْنَ أَمَاتَ الْكُفْرُ قُلُوْبَهُمْ ، أيْ : كَمَا لاَ تُسْمِعُ مَنْ مَاتَ كَذَلكَ لاَ تُسْمِعُ مَنْ مَاتَ قَلْبُهُ
Artinya: “Kemudian Allah SWT memberikan perumpamaan lain bagi orang mu’min dan kafir, maka Allah SWT berfirman: “(Tidak akan sama orang-orang yang hidup dan orang-orang yang mati), maka orang-orang mu’min di serupakan dengan orang-orang yang hidup dan orang-orang kafir di serupakan dengan orang-orang yang mati. Ada yang mengatakan : Allah SWT menghendaki memberi perumpamaan ulama dan orang-orang bodoh. Ibnu Qutaibah berkata : orang-orang yang hidup adalah orang-orang yang berakal, sedangkan orang-orang yang mati adalah orang-orang yang bodoh. Qotadah berkata, ini semua perumpamaan, artinya sebagaimana tidak samanya ini semua, begitu juga tidak sama antara orang kafir dan orang mu’min. (Sesungguhnya Allah memperdengarkan orang yang dikehendaki-Nya), yakni memperdengarkan kekasih-kekasihnya yang dia ciptakan surga bagi mereka dan memberi taufik mereka untuk taat padanya. (Kamu tidak akan mampu memperdengarkan orang-orang yang ada dalam kuburan), maksudnya orang-orang kafir yang hatinya dimatikan oleh kekufuran, artinya, sebagaimana kamu tidak akan bisa memperdengarkan orang yang mati, begitu juga kamu tidak akan bisa memperdengarkan orang yang mati hatinya.”
Tafsiran diatas cukup untuk memberikan maksud yang sebenarnya dari surat al-Fathir ayat 22 tersebut, jelas sekali tokoh yang mereka kagumi yakni Imam Syaukani menafsiri lafadz “al ahya’” pada ayat tersebut dengan orang-orang mu’min dan “al amwat” dengan orang-orang kafir. Sehingga konteks ayat tersebut masih membahas tentang orang yang secara hakiki hidup di dunia. Namun orang kafir di ibaratkan orang yang sudah meninggal dalam kuburan sebab tidak mau menerima hidayah.
Untuk lebih memantapkan bahwa ayat ini tidak bisa digunakan untuk melarang tawassul, penafsiran yang sama seperti Imam As Syaukani juga disebutkan dalam kitab-kitab tafsir lainnya seperti tafsir Ar-Rozi karya Syaikh Fakhruddin Ar-Rozi, disana bahkan disebutkan dua kali, yakni di hal 461 juz 6 dan 465 juz 12.
Begitu juga disebutkan oleh Abu al Mudhoffar Manshur bin Muhammad bin Abdul Jabbar as Sam’ani di kitabnya yang berjudul tafsir As-Sam’ani hal 355 juz 4. Bahkan kitab ini di tahqiq oleh dua tokoh wahabi, Yasir bin Ibrahim dan Ghunaim bin Abbas bin Ghunaim dan diterbitkan oleh orang Wahabi di Riyadh Arab Saudi.
Disebutkan juga oleh Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad bin Abi Bakr bin Farh Al Anshori Al Khozroji Syamsuddin al Qurthubi di kitabnya Al Jami’ li ahkamil Qur’an atau Tafsir al Qurthubi di halaman 339-340 juz 14, kitab ini di tahqiq oleh Hisyam Sumair al Bukhori dan diterbitkan oleh Dar Alimin Kitab Riyadh Arab Saudi.
Disebutkan juga oleh Abu al Hasan Ali bin Muhammad bin Habib al Mawardi al Bashri di kitabnya Tafsir Al Mawardi halaman 469 juz 4, kitab ini ditahqiq oleh Sayyid bin Abdi al Maqshud bin Abdurrohim.
Disebutkan juga oleh Abu al Barokat Abdullah bin Ahmad bin Mahmud an Nasafi dibkitabnya Madarikuttanzil wa Haqoiqutta’wil hal 166 juz 3, oleh Nidhomuddin al Hasan bin Muhammad bin Husain al Qomi an Naisaburi di kitabnya
Ghoroibul Qur’an wa Roghoibul Furqon arau Tafsir an Naisaburi halaman 162 juz 1, Oleh Jamaluddin Abdurrohman bin Ali bin Muhammad al Jauzi atau Ibnu al Jauzi di kitabnya Zadul Masir fi Ilmi at Tafsir halaman 178 juz 5.
Bahkan pendapat serupa dipaparkan sendiri oleh Muhammad Ghozi ad Daurobi salah satu dari murid-muridnya Ulama Wahabi Nashiruddin al Albani sewaktu masih di Damaskus di dalam kitabnya Syarah al Kalimat wa Ma Tursyidu ilaihi al Ayat hal 33 juz 19, bahkan disebutkan jika Muhammad Ghozi dalam menafsiri ayat-ayat al Qur’an berpijak pada hadis-hadis sohih yang sesuai dengan manhaj Ahlussunnah wal Jama’ah.”
Begitu juga disebutkan Abu Zakariya Yahya bin Ziyad al Farro’ di kitabnya, Ma’ani al Qur’an Lil Farro’ halalaman 64 juz 4, oleh Abdur Rohman bin Rojab al Hanbali di kitab Nuzhatul Asma’ halaman 93 juz 1, Kitab ini di tahqiq oleh Walid Abdurrohman al Furyan dan di terbitkan oleh Salafi Wahabi di Riyad melalui Dar at Thoyyibah.
Juga oleh Sholeh Munjid al Salafi al Wahabi di kitab Fatawa al Islam Su’al wa Jawab halaman 1488 juz 1, Juga oleh Mahmud Muhammad Iwadh Salamah di kitab Roddu Syubahil Mujizin Linaqlil A’dho’ minan Nahiyataini halaman 13 juz 1.
Wallaahu A’lam Bisshowab.
Nb : nomer halaman dan juz kitab-kitab yang dikutip diatas disesuaikan dengan yang ada pada Maktabah Syamilah.
Oleh : Muhammad Hamdi, S.Sy, M.E