Penjelasan Lengkap Hadis Seputar Doa Buka Puasa

MAHADALYASSUNNIYYAH.AC.ID, Kencong.

Setiap kali bulan Ramadhan tiba, selalu saja muncul statmen-statmen mengenai doa buka puasa yang sering dibaca kaum muslimin saat berbuka puasa, uniknya statmen tersebut lebih mengarah kepada menyalahkan amaliah yang sudah lama dilakukan kebanyakan kaum muslimin di Indonesia hanya sebab status hadis tersebut yang dianggap dhaif.

Hadis اللّٰهم لَكَ صُمْت memang dhaif dan tidak sampai naik menjadi Hasan Li ghayrih, sebab riwayat dari Ibn Abbas dan Anas ibn Malik dalam ibarat ini adalah dhaif jiddan, sehingga tidak bisa menaikkan hadis Mu’adz bin Zuhrah menjadi Hasan Li ghayrih.

Di samping itu, ada banyak faktor yang mendhaifkan hadis Mu’adz bin Zuhrah, yaitu Mursal, jahalah rawi, dan idlthirab. Sehingga paling mentok hadis dari Mu’adz yang awalnya dhaif jiddan, dengan adanya syahid dari hadisnya Anas dan ibn Abbas, menjadi dhaif saja, tanpa jiddan.

Kemudian mengenai bisa tidaknya hadis ini digunakan kita bisa tanggapi dengan lebih detail dengan rincian sebagai berikut. Pertama, Mayoritas ulama memperbolehkan mengamalkan kandungan hadis dhoif jika tidak berkaitan dengan halal haram, tidak dalam ranah penetapan hukum fikih, sekedar motifasi ibadah.

Maka, dalam masalah ini sudah memenuhi 3 syarat pengamalan hadis dhoif yang disebutkan Ibnu Hajar. Hal ini secara detail bisa dipelajari dengan mengkaji syarat-syarat tersebut dalam kitab taisir dengan penerapannya pada kasus ini.

Kedua, dalam tulisan tersebut disebutkan bahwa sebab kedhoifannya adalah “mursal”, dalam masalah pengamalan hadis mursal sebenarnya ulama memiliki perbedaan yang luas. Diantara ulama yang memperbolehkan pengamalan hadis mursal (dalam bidang fikih, bukan sekedar fadhoil a’mal) adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, dan Imam Ahmad bin Hambal dalam riwayat yang masyhur.

Imam Abu Hanifah menerima hadis mursal dalam arti tidak menganggap status mursal sebagai masalah yang berdampak pada jatuhnya sebuah hadis.

Namun jika ternyata rowi tabi’i yang memursalkannya menyandang status dhoif maka jatuhnya status hadis bukan disebabkan status mursalnya melainkan sebab dhoifnya rowi mursil.

Hal ini terjadi jika ternyata semua rowi dibawah tabi’i menyandang status dhoif. sedangkan imam syafii dalam hal ini memperbolehkan pengamalan hadis mursal dengan syarat” tertentu.

Ketiga, tentang pengamalan hadis dhoif selain mursal juga masih terjadi khilaf baik kalangan fuqoha atau pun ahli hadis sendiri, yang diantaranya adalah Imam Abu Dawud.

Keempat, sebenarnya harus dipastikan dahulu apa benar tidak ada riwayat lain tentang redaksi tersebut yang shahih?

Ketika kita teliti lagi, hadis di atas memang betul mursal, Imam Abu Dawud sendiri memasukkan hadis tersebut dalam marasilnya. Marasil Abi Dawud berbeda dengan Marasil Ibn Abi Hatim, dimana Marasil Abi Dawud mengumpulkan hadis-hadis mursal dalam terminologi muta’akhirin, bukan sekedar inqitha’. Meskipun selain Abi Dawud, ada beberapa ulama lain yang meriwayatkan, seperti Ibnu Mubarak dan Al-Baihaqi.

Ketika di takhrij secara mutawassith bisa ditemukan bahwa semuanya melalui jalur Hushayn dari Mu’adz ibn Zuhrah, sehingga di sini terjadi tafarrud secara mutlak, bukan nisbi, dan Mu’adz ibn Zuhrah masuk dalam kategori rawi yang لا يقبل تفرده ( tidak diterima riwayat tafarrudnya)

تقريب التهذيب (ص: 536)

معاذ ابن زهرة ويقال [معاذ] أبو زهرة مقبول من الثالثة أرسل حديثنا فوهم من ذكره في الصحابة د

 

nama Mu’adz hanya ada dalam sunan Abi Dawud, dan maqbul versi Ibnu Hajar mengandung arti, rawi tersebut tidak ada tawtsiq yang mu’tabar terhadapnya, hanya saja namanya disebutkan dalam kitab tsiqat karya Ibnu Hibban yang terkenal mutasahil.

Sedangkan Hushayn Ibnu Abdirrahman al-Sulami yang meriwayatkan darinya, masuk dalam kategori rawi tsiqah yang mukhtalath bi akhirah sehingga secara kajian sanad sangat besar potensi untuk dihukumi dla’iful isnad.

Disamping itu, Syu’aib al-Arna’uth termasuk muhaqqiq yang mu’tabar di kalangan Azhariyyin sebagaimana Fuad Abdul Baqi, tidak seperti al-Albani.

Kesimpulannya, Bacaan tersebut bisa diamalkan, bahkan dianjurkan sebagai bentuk kehati-hatian terlepas dari status dhoif tidaknya, sebab tidak masuk ranah fikih atau halal-haram.

والله أعلم بالصواب

Penulis: Maskur Azka

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *