Sejarah Ilmu Hadits dan Perkembangannya

ma’hadalyassunniyyah.ac.id – Hadits sebagai sumber kedua setelah Al-Qur’an bagi umat Islam tentu menjadi cabang keilmuan yang hingga hari ini masih terus dipelajari oleh para pencari ilmu. Memahami sebuah hadits tidaklah cukup hanya melihat terjemahan, memahami hadits secara komprehensif membutuhkan sebuah ilmu khusus untuk meneliti rowi, asbabul wurud dan lain sebagainya untuk menentukan kualitas hadits tersebut sehingga terjaga dari pemalsuan hadits.

Hal ini secara turun temurun telah dilakukan oleh para Ulama dengan berpegang pada kaidah dasar Ilmu hadits yang penukilannya dilakukan oleh para Rawi (Periwayat Hadits). Penelitian dan cara penukilan hadits seperti ini sebenarnya secara explisit tertera dalam Al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 6. Allah SWT berfirman:

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِنْ جَاءَكُمْ فَاسِقٌ بِنَبَإٍ فَتَبَيَّنُوا

Artinya: “Wahai orang-orang yang beriman, ketika datang kepada kalian semua sebuah informasi, maka lakukanlah tabayyun.”

Rasulullah SAW juga bersabda:

نضَّر الله امرأً سمع منَّا شيـأً فبلغه كما سمع, فرُبَّ مبلغ أوعى من سامع

Artinya: “Semoga Allah SWT menjadikan bersinar terhadap orang yang mendengar dariku sesuatu kemuadian ia menyampaikan seperti apa yang telah didengarnya, banyak orang yang menyampaikan yang lebih menjaga dari pada orang yang mendengar”(HR. Tirmidzi).

Ayat dan hadits di atas mengandung sebuah prinsip ketelitian dalam pengambilan hadits, cara mengoreksi dengan hati-hati, menghafal dan betapa harus detailnya penukilan hadits.

Atas dasar perintah Allah SWT dan Rasulnya, para sahabat nabi sangat berhati-hati ketika mengambil dan menerima hadits, apalagi saat mereka merasa ragu akan kebenaran orang yang menukil hadits tersebut. Oleh sebab itu, muncullah topik perhatian terhadap sanad dan nilai tinggi dalam menerima dan menolak sebuah hadits.

Diterangkan dalam mukaddimah (pengantar) kitab Shohih Muslim dari Ibnu Siriin, beliau berkata: “Mereka tidak mau menanyakan sanadnya, ketika timbul fitnah lantas mereka baru berkata: sebutkanlah rawi-rawi (sanad) kalian kepada kami”. Setelah itu mereka meneliti Ahlus Sunnah, ternyata mendapati sanadnya, maka diambilah hadits-hadits tersebut. Kemudian meneliti Ahli Bid’ah, ternyata tidak menemukan sanadnya, maka mereke tinggalakan.”

Berdasarkan fakta bahwa hadits itu tidak akan diterima kecuali telah diketahui sanadnya, maka munculah ilmu Al-Jarh Wat Ta’dil, karangan-karangan yang menjelaskan tentang rawi, pengetahuan sambung dan tidakanya sanad, pengetahuan Ilat yang samar dan komentar pada sebagian rawi yang dlo’if.

Kemudian hal ini diperluas oleh para ulama’ hingga timbul lagi pembahasan dalam beberapa banyak ilmu yang berkaitan dengan hadits seperti daya ingat rawi(dlobt), tata cara menerima dan menyampaikan hadits, pengetahuan nasikh dan mansukh, ghoribul hadits dan lain sebagainya. Hanya saja saat itu para Ulama’ ketika menukil hadits masih secara lisan belum menggunakan tulisan.

Seiring berjalannya waktu, ilmu hadits mulai berkembang dengan adanya pembukuan hadits nabi, namun masih terpisah-pisah di berbagai kitab yang tercampur dengan ilmu lain seperti ilmu Ushul dan ilmu fiqih, sebagaimana ilmu hadits yang terdapat dalam kitab Ar-Risalah dan kitab Al-Umm karangan Imam Syafi’i.

Pada akhirnya di abad ke-empat, pembahasan ilmu ini sudah mencapai batas akhir, sudah ada penetapan istilah-istilahnya dan setiap fan sudah berdiri sendiri. Para ulama’ menyendirikan Ilmu Mustholah hadits di sebuah kitab tersendiri. Orang yang pertama kali menyendirikan secara khusus ilmu ini ialah Al-Qodli Abu Muhammad Al-Hasan bin Abdurrahman bin Kholad Ar-Romahurmuzi, wafat pada tahun 360 H. dalam kitab karyanya Al-Muhaddits Al-Fashil Bainar Rawi Wal Wa’i.

Umat islam sangat menjaga ilmu ini agar supaya ajaran agama islam tetap murni dan selamat dari campuran dan perubahan yang dilakukan oleh sebagian orang, sebagaimana peristiwa yang terjadi pada kitab-kitab umat terdahulu seperti kitab Injil, Taurat dan Zabur. Oleh sebab itu, sanad merupakan kekhushusan yang hanya dimiliki oleh umat nabi Muhammmad SAW.

Imam Abu Ali Al-Jiyani pernah berkata:

خصّ الله تعالى هذه الأمّة بثلاثة أشياء لم يُعطيها مَنْ قبلها: الإسناد والأنساب والإعراب

Artinya: “Allah SWT mengkhushuskan umat ini dengan tiga perkara yang tidak dimiliki oleh umat sebelumnya, yaitu sanad, nasab dan I’rob.”

Sumber: kitab Taisir Mustholah Hadits karya Dr. Mahmud At-Thohan dan kitab Manhajun Naqd karya Dr. Nuruddin.

Penulis: Ahmad Nashor Mahasantri Mustawa 3

Editor: Sufyan Arif

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *