Inilah Cara Menafsiri Ayat Mutasyabihat Menurut Manhaj Asy’ariyyah

Manhaj Asy’ariyyah adalah kaidah atau ketentuan dalam ilmu tauhid yang dinisbatkan kepada Imam pencetusnya, yaitu Imam Abu Hasan Ali bin Ismail Al-asy’ari yang dilahirkan pada tahun 260 H dan wafat pada tahun 322 H, dan akidah ini banyak diikuti para ulama bermazhab Syafi’i dan Maliki.

Ayat mutasyabbihat sendiri merupakan ayat-ayat dalam Al-Qur’an yang ketika diartikan secara makna dhohirnya sekilas akan terkesan seolah-olah Allah serupa dengan makhluknya, padahal salah satu dari sifat wajib Allah adalah berbeda dari makhluknya, maka dalam manhaj Asy’ariyyah ada dua metode cara menafsirkannya.

Ayat-ayat mutasyabbihat di dalam Al-Qur’an sendiri cukup banyak diantaranya seperti ayat “الرحمن على العرش استوى” yang terdapat dalam Surat Taha ayat 5.

Dalam menafsiri ayat tersebut manhaj Asy’ari memakai dua metode yaitu metode ta’wil dan tafwid, seperti yang disebutkan Syaikh Ibrahim Al-laqqani dalam nadhom Jauharatut tauhidnya yang berbunyi:

 وكل نص اوهم التشبيها # اوله او فوض ورم تنزيها

Artinya: “Dan tiap-tiap nash atau ayat yang memberi pemahaman menyerupakan maka Ta’willah atau pasrahkan maknanya pada Allah, dan peganglah prinsip tanzih(menyucikan Allah dari segala bentuk keserupaan.”

Metode Ta’wil adalah mengarahkan teks pada makna yang jauh karena tidak mungkin mengarahkannya pada makna yang dekat yakni menggunakan makna-makna yang sesuai dengan dalil aqli yang berlaku dalam kaidah Arab. metode ta’wil ini dipakai oleh Ulama Khalaf (setelah generasi sahabat, tabiin, dan tabi’it tabiin).

Sedangkan Metode Tafwid adalah menetapkan makna teks yang dimaksud dengan memasrahkan maknanya pada Allah, dan metode ini dipakai oleh para Ulama Salaf (Para sahabat, tabiin, dan tabi’it tabiin).

Dalam metode ta’wil lafadz استواء bermakna استولى, yang bermakna berkuasa atau menguasai, karena jika lafadz tersebut diartikan seperti mana artinya yakni bersemayam atau bertempat, maka hal tersebut bertolak belakang dan tidak sesuai dengan sifat kesuciannya Allah.

Sedangkan dalam metode Tafwid, ayat tersebut bermakna beristiwa’ di Arsy tanpa ditafsiri, dan maknanya dipasrahkan kepada Allah SWT, artinya hanya Allah yang mengetahui maknanya.

Imam Malik bin Anas dan beliau termasuk dari golongan Ulama Salaf ketika ditanya tentang makna dari Istiwa’ beliau berkata:

“الاستواء غير مجهول والكيف غير معقول والايمان به واجب والسؤال عنه بدعة”

“Istiwa’ itu sudah jelas, mengenai bagaimana caranya itu tidak bisa dinalar, iman terhadap istiwa’ itu wajib hukumnya dan bertanya tentang istiwa’ itu bid’ah.”

Kedua metode ini sama-sama mengimani terhadap Istiwa’ dan sama-sama meyakini bahwa Allah berbeda dari makhluknya, sehingga diucapkan metode ta’wil itu lebih masuk akal dan metode tafwid itu lebih selamat. Dan kedua metode tersebut juga sama-sama memiliki prinsip tanzih yakni menyucikan Allah dari segala bentuk keserupaan.

Oleh karena itu kita dalam mengartikan ayat-ayat mutasyabbihat tidak boleh langsung memaknai secara dhohirnya lafadz saja melainkan kita harus berpegang dan merujuk pada pendapatnya para ulama sehingga kita bisa terbebas dan selamat dari menyerupakan Allah dengan makhluknya.

 

Ditulis Oleh: Abidah Hasnah, Mahasantri Ma’had Aly Assunniyyah Putri

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *