مَااَصَابَنَا مِنْ دُنْيَاكُمْ هذِهِ اِلا النساء
“Tiada anugerah dari dunia ini (melebihi) wanita (salihah).”
Ungkapan tersebut merupakan salah satu Sabda Rasulullah yang diriwayatkan oleh Imam Nasa’i. tentu hal tersebut benar adanya, wanita salihah merupakan bagian terbaik dari gemerlapnya dunia yang Allah anugerahkan untuk hambanya.
Dalam hadits lain yang diriwayatkan oleh Abdullah bin ‘Amr bahwasanya, Rasulullah bersabda:
الدُّنْيَا مَتَاعٌ وَخَيْرُ مَتَاعِ الدُّنْيَا الْمَرْأَةُ الصَّالِحَةُ “
“Dunia adalah harta, dan sebaik-baiknya harta dunia adalah wanita shalihah.” (HR. Muslim)
Berbicara tentang wanita salihah, tentu ada kriteria tertentu sehingga seorang wanita pantas dan layak untuk menyandang predikat tersebut.
apakah ia yang menghabiskan waktunya untuk ibadah? Atau yang dengan rapatnya menutup aurat? Atau yang bersikap lemah lembut, sopan dan santun pada setiap orang? Atau yang menjaga hatinya dengan baik?
Beberapa waktu yang lalu, hal ini sempat menjadi perbincangan panjang yang banyak melibatkan responden, yang mereka ributkan mana yang lebih dianggap benar antara wanita yang berhijab dengan sesuai aturan syari’at atau wanita yang menjaga hatinya dari setiap penyakit hati, berikut penjelasannya.
Wanita dan Hijab
Hijab secara definitif adalah sesuatu yang dapat menghalangi pandangan baik berupa tabir, dinding atau pakaian. Hijab merupakan kewajiban yang mulai disyariatkan sejak bulan Dzulqo’dah di tahun kelima hijriah, dengan turunnya ayat:
وَإِذا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتاعاً فَسْئَلُوهُنَّ مِنْ وَراءِ حِجابٍ ذلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Artinya: “Apabila engkau meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (istri-istri Rasulullah) maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka.”(QS. Al Ahzab : 53).
Ayat ini diturunkan sebagai jawaban atas saran Sahabat Umar RA kepada Rasulullah SAW yang merupakan salah satu muwafaqaat al wahyu (kesesuaaian wahyu dengan pendapat Sahabat Umar).
Diriwayatkan oleh Imam Bukhori, bahwasanya Sahabat Anas RA menceritakan, bahwa Umar RA Pernah berkata pada Rasulullah:
”Ya Rasulallah, sesungguhnya dari orang yang datang bertamu ada yang niatnya baik dan buruk alangkah baiknya jika engkau memerintahkan ummahatul mu’minin untuk berhijab.”
lalu turunlah ayat diatas yang berisi perintah mengenakan hijab khusus untuk istri-istri Rasululloh namun hukumnya disyariatkan untuk seluruh wanita muslim untuk menjaga kesucian mereka.
Oleh karenanya, sudah menjadi keharusan bagi setiap wanita mu’min untuk menutup auratnya dengan mengenakan hijab, sebagaimana yang telah diperintahkan oleh Allah kepada Ummahatul mu’minin. Dengan demikian, hijab juga merupakan identitas muslim bagi kaum hawa, sehingga dapat menjadi pembeda yang tegas, antara wanita muslim dan wanita lainnya.
Selain mematuhi kewajiban yang telah ditetapkan oleh syari’at, menutup aurat dengan berhijab merupakan pelindung bagi setiap wanita yang mengenakannya, karena dengan berhijab maka seorang wanita akan terselamatkan dari pandangan setiap mata yang melihatnya, dan setiap yang memandangnya akan cenderung dengan pandangan hormat dan segan, dibandingkan dengan memandang pada wanita yang tidak mengenakan hijab.
Hal ini sangat sesuai dengan apa yang telah Allah firmankan pada surat Al Ahzab ayat 59:
يا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْواجِكَ وَبَناتِكَ وَنِساءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ذلِكَ أَدْنى أَنْ يُعْرَفْنَ فَلا يُؤْذَيْنَ وَكانَ اللَّهُ غَفُوراً رَحِيما
Artinya: “Wahai Nabi! Katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin, “Hendaklah mereka menutupkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu agar mereka lebih mudah untuk dikenali, sehingga mereka tidak diganggu. Dan Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”
Tidak hanya menyelamatkan diri sendiri, wanita yang mengenakan hijab juga telah menyelamatkan setiap orang yang melihatnya, karena dengan menutup auratnya maka setiap orang yang melihatnya terselamatkan dari maksiat mata, yang merupakan sebab utama dari kemaksiatan lain, sebagaimana yang disampaikan oleh sebuah syair
كل الحوادث مبدؤها النظر# ومعظم النار من مستغر الشرر
“setiap kejadian berawal dari pandangan, banyak manusia terjerumus ke neraka karena berawal dari dosa kecil.”
Ibnu Abbas berkata, bahwa perangkap syetan pada setiap laki-laki dan perempuan melalui tiga hal, yaitu pandangan, hati dan kemaluannya untuk laki-laki dan kelemahannnya untuk perempuan.
Menjaga Hati
Dengan sangat jelas al qur’an menegaskan, bahwasanya pada hari dibangkitkannya kembali seluruh manusia, maka tidak akan lagi bermanfaat adanya harta dan anak, kecuali bagi mereka yang bersih hatinya. Sebagaimana terabadikan dalam surat Asy Syu’ara ayat 88 dan 89:
يَوْمَ لا يَنْفَعُ مالٌ وَلا بَنُونَ إِلَّا مَنْ أَتَى اللَّهَ بِقَلْبٍ سَلِيمٍ
Artinya: “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna, kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.”
Ibnu Katsir dalam menjelaskan ayat ini berkata, “(Yaitu) pada hari harta dan anak-anak laki-laki tidak berguna artinya, harta seseorang tidak akan bisa menjaga diri orang tersebut dari azab Allah, walaupun dia menebusnya dengan emas seluas dan sepenuh bumi.
Dan tidak pula anak-anak laki-laki bisa menghindarkan dirinya dari azab Allah, walaupun dia menebus dirinya dengan semua manusia yang bisa memberikan manfaat kepadanya.
Yang bermanfaat pada hari kiamat hanyalah keimanan kepada Allah dan memurnikan peribadatan hanya untuk-Nya, serta berlepas diri dari kesyirikan dan dari para pelakunya.
Oleh karena itu, Allah kemudian berfirman, ‘Kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih.’ Yaitu, hati yang terhindar dari kesyirikan dan dari kotoran-kotoran hati.”
Maka menjadi jelas, setiap manusia Allah perintahkan untuk menjaga hatinya, karena hanya hati yang bersih yang dapat menyelamatkan manusia pada hari akhir.
Imam asy-Syaukani berkata, “Harta dan kerabat tidak bisa memberikan manfaat kepada seseorang pada hari kiamat. Yang bisa memberikan manfaat kepadanya hanyalah hati yang selamat. Dan hati yang selamat adalah hati seorang mukmin yang sejati.”
Diriwayatkan dari Abdullah bin ‘Amr bin ‘Ash, berkata, “Rasulullah shollallohu ‘alaihi wa sallam pernah ditanya, ‘Siapakah orang yang paling utama?’ Beliau menjawab, setiap orang yang bersih hatinya dan benar ucapannya. Para sahabat berkata, Orang yang benar ucapannya telah kami pahami maksudnya. Lantas apakah yang dimaksud dengan orang yang bersih hatinya?
Rasulullah menjawab, Dia adalah orang yang bertakwa (takut) kepada Allah, yang suci hatinya, tidak ada dosa dan kedurhakaan di dalamnya serta tidak ada pula dendam dan hasad.”
Dalam hadits tersebut Rasulullah menyampaikan, bahwa menjaga hati dari setiap dosa dan penyakit hati merupakan keutamaan bagi setiap orang yang memilikinya.
Dalam hadits lain, diriwayatkan oleh nu’man bin basyir, beliau pernah mendengar rasulullah bersabda :
أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ
Artinya: “Ketahuilah sesungguhnya di dalam jasad itu ada segumpal darah. Apabila dia baik, maka menjadi baik pula semua anggota tubuhnya. Dan apabila rusak, maka menjadi rusak pula semua anggota tubuhnya. Ketahuilah dialah hati”.
Sekali lagi Rasulullah menyampaikan tentang keutamaan menjaga hati, kebaikan yang ada pada seluruh jasad setiap manusia tergantung pada seberapa baik hatinya, maka secara tersirat Rasulullah menganjurkan pada setiap umatnya untuk memperbaiki hatinya.
Antara Hijab Dan Hati
Setelah mengetahui kewajiban menutup aurat bagi setiap wanita muslim dengan mengenakan hijab, dan juga tentang anjuran dan keutamaan menjaga hati serta selalu memperbaikinya, lantas manakah yang lebih utama antara keduanya? Karena pada realitanya, tidak sedikit dari kalangan muslimah yang beralasan tidak berhijab, karena ingin terlebih dahulu memperbaiki hati, atau sebagian lain yang tidak berhijab justru berkata, “percuma luarnya berhijab, kalau hatinya tidak.”
Dalam masalah ini, sebenarnya tidak ada yang lebih utama antara keduanya, karena keduanya merupakan dua hal yang tidak layak untuk dibandingkan dari segi keutamaaannya, kita sudah sama mengetahui, bahwa menutup aurat merupakan kewajiban bagi setiap muslim, maka mengumbarnya atau sekedar tidak menutupnya, merupakan perbuatan yang terus menerus mengalirkan dosa, karena merupakan bentuk tidak taat pada perintah Allah.
Sedangkan menjaga hati, sangat jelas dari ayat dan hadits yang sudah dipaparkan di atas, hati adalah ibarat raja bagi anggota tubuh. Anggota tubuh akan melaksanakan apa yang diperintahkan oleh hati dan akan menerima semua arahan-arahan hati.
Anggota tubuh tidak akan melaksanakan sesuatu kecuali yang berasal dari tujuan dan keinginan hati. Jadi, hati merupakan penanggung jawab mutlak terhadap anggota tubuh karena seorang pemimpin akan ditanya tentang yang dipimpinnya.
Jika demikian adanya, maka upaya memberi perhatian yang besar terhadap hal-hal yang menyehatkan hati dan meluruskannya merupakan upaya yang terpenting, dan memperhatikan penyakit-penyakit hati serta berusaha untuk mengobatinya merupakan ibadah yang besar.
Seandainya terus memaksakan untuk membandingkan antara keduanya, maka akan ditemukan sebuah jawaban untuk lebih mendahulukan menutup aurat dengan berhijab, mengapa demikian?, karena tentu semua orang sepakat bahwa badan merupakan anggota dhohir, sedangkan hati merupakan anggota bathin, lalu mungkinkah seseorang mampu untuk memperbaiki keadaan bathin jika memperbaiki yang dhohir saja ia tidak mampu, hal ini juga sesuai dengan ayat pada surat al ahzab ayat 53 :
وَإِذا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتاعاً فَسْئَلُوهُنَّ مِنْ وَراءِ حِجابٍ ذلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
dari ayat tersebut dapat memberikan kesimpulan bahwa dengan menjaga aurat dapat mensucikan hati dari setiap keraguan, sebagaiman disampaikan oleh para ahli tafsir.
Hal ini pun tidak mampu memberi kesimpulan bahwa setiap wanita yang berhijab sudah pasti hatinya baik, ataupun setiap yang hatinya baik sudah pasti berhijab, karena keduanya bukan merupakan dua ketetapan yang pasti.
Maka alangkah baiknya bagi setiap wanita muslim untuk senantiasa menutup anggota dzohirnya, dan menjaga hatinya sebisa mungkin, sehingga layak untuk menyandarkannya sebagai sebaik-baik perhiasan dunia yaitu wanita salihah.
mungkinkah seseorang mampu untuk memperbaiki keadaan batin jika memperbaiki yang dzohir saja ia tidak mampu? Wallahu a’lam Bissowab.
Ditulis oleh : Kholil Khoironi Mahasantri Mustawa III
Editor: Sufyan