Gus Ahmad Zuhairuz Zaman, B.Sc., M.H. salah satu Mudarris atau Dosen Ma’had Aly Assunniyyah mengikuti pelatihan kepengarangan turats selama bulan November 2024 ini di Kairo Mesir.
Kegiatan yang diselenggarakan Kementerian Agama Republik Indonesia (Kemenag RI) bekerjasama dengan Ma’had Al-Makhthuthat Al-‘Arabiyyah Kairo Mesir tersebut adalah bagian dari program Beasiswa Non-Degree dari Dana Abadi Pesantren kolaborasi Kemenag RI dan LPDP.
Gus Zuhair melaporkan, seremoni pembukaan program tersebut telah dilaksanakan pada Selasa 05 November 2024 di Cairo Mesir dengan dihadiri sejumlah tokoh, diantaranya Dr. Ali Abdullah al-Na’im selaku Mudir Ma’had Al-Makhthuthat Al-‘Arabiyyah.
“Juga Dr. Ahmad Abd al-Basith selaku koordinator daurah, Dr. Abd al-Sattar al-Halwaji selaku pengajar senior ilmu makhthuthat, dan perwakilan dari KBRI Mesir,” ungkap Gus Zuahir.
Gus Zuahir mengatakan, semua peserta disambut Dr. Ali Abdullah al-Na’im saat mengisi sambutan serta diberikan motivasi agar manfaatkan momen berharga ini sebaik mungkin, apalagi mereka datang dari tempat yang jauh.
“Beliau menukil sebuah hadits yang menjelaskan keutamaan penuntut ilmu dimana para malaikat membentangkan sayapnya untuk para penuntut ilmu sebagai bentuk ridha dengan apa yang dikerjakan mereka,” lanjut Gus Zuhair.
Selain itu, diinformasikan oleh Dr. Ahmad Abd al-Basith bahwa Daurah ini dijadwalkan selama 22 muhadlarah tatap muka. Dan Lembaga Institut Makhthutat Arab akan memberikan kesempatan kepada para peserta untuk mempaktikkan teori yang didapatkan selama pelatihan, sehingga di hari terakhir pelatihan akan dikhususkan untuk tiga sesi praktik tersebut.
“Dimana peserta pelatihan mempraktikkan berbagai prosedur tahqiq berdasarkan manuskrip Arab dengan dua salinan naskah yang berbeda,” cerita Gus Zuhair.
Usai open seremoni, kata Gus Zuhair, sesi materi pembuka tentang pengantar dan sejarah manuskrip arab disampaikan oleh Dr. Abd al-Sattar al-Halwaji. Kemudian materi kedua disampaikan oleh Dr. Ayman Fuad Sayyid tentang Studi Manuskrip Arab.
“Beberapa nama lain yang dijadwalkan untuk mengisi pelatihan ini adalah Dr. Ahmad Athiyyah, Dr. Muhammad Hasan Ismail, Dr. Hasan al-Syafi’i, dan beberapa nama lainnya,” imbuhnya.
Gus Zuhair mengaku sangat terkesan selama seminggu mengikuti kegiatan tersebut, bagaimana manuskrip Arab merupakan sebuah benda bersejarah yang memiliki banyak percabangan. Dan keliru jika hal itu dibatasi pada konten keilmuan yang dibawa atau disampaikan oleh teks saja, lalu mengabaikan fakta bahwa ia merupakan artefak material
“Yang mana dari situ banyak seni, industri, dan tradisi bermunculan. Diantara tradisi dalam penulisan manuskrip tersebut adalah catatan informasi yang berhubungan dengan teks salinan yang disejajarkan dengan teks aslinya seperti catatan pinggir (hawasyi), komentar (ta’liqat), dan catatan informasi selain konten yang dimuat oleh teks (khawarij al-nash), seperti informasi bahan manuskrip, penjilidan, pen-tashih-an, status kepemilikan dan wakaf, dan lainnya,” ujarnya.
Menurutnya peran para filolog (muhaqqiq) adalah bekerja berdasarkan pada naskah teks dengan mengikuti langkah-langkah prosedural secara rinci dalam proses tahqiq, serta mengangkat problematikanya, seperti isu tashif (menulis atau membaca suatu kata secara keliru dan tidak sesuai semestinya) dan tahrif (distorsi pada teks turats).
“Sedangkan bagi para kodikolog, mereka mempelajari segala sesuatu yang berada di luar teks asli, menjauh dari arena teks, dan menuju ke aspek material naskah tersebut, serta tradisi dan industri pembuatannya,” pungkasnya.