Jember, mahadalyassunniyyah.ac.id
Hadis merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Namun secara fakta, hadis tidaklah sama dengan Al-Qur’an. Dimana al-Qur’an secara keseluruhan diriwayatkan secara mutawatir. Sedangkan hadis, sebagian kecilnya diriwayatkan secara mutawatir, sedangkan sebagian besarnya diriwayatkan secara aḥād (perseorangan).
Dari sinilah kemudian muncul peluang adanya pemalsuan terhadap hadis atau biasa disebut dengan hadis maudlu’ atau hadis palsu. Sebagian ulama mendefinisikan hadis maudlu’ dengan hadis yang berupa kebohongan atau sesuatu yang sebenarnya bukan hadis namun disandarkan kepada Rasulullah SAW. Hadis maudlu’ adalah hadis yang paling buruk. Bahkan sebagian ulama menganggapnya sebagai bagian tersendiri, bukan termasuk salah satu macam hadis da’if (lemah).
faktor pendorong kemunculan pemalsuan hadis adalah karena adanya fitnah dan konflik politik diantara umat Islam saat itu, juga adanya upaya permusuhan dan perusakan terhadap Islam, serta upaya menyemangati umat Islam untuk melakukan kebaikan dan menakut-nakuti mereka dari melakukan keburukan, dan mengejar tujuan duniawi.
Ada beberapa bahaya besar yang disebabkan adanya pemalsuan hadis ini, diantaranya:
1. Semakin berkembangnya berbagai kelompok politik dan madzhab, yang seandainya tidak ada hadis-hadis yang mereka palsukan, mereka tidak akan berkembang sedemikian massif.
2. Hadis-hadis palsu ini memberi peluang terhadap musuh-musuh Islam, terutama golongan orientalis untuk memunculkan citra buruk terhadap Islam dan Rasulullah SAW.
3. Kemunculan aqidah yang menyimpang, seperti aqidah tajsim dan tashbih.
4. Semakin tumbuh suburnya praktik bid’ah.
5. Meremehkan dan malas melakukan amal saleh serta tidak adanya perasaan susah ketika melakukan kemaksiatan.
6. Menjadikan umat Islam meninggalkan amal yang bermanfaat karena mereka mengira melakukan amal pada waktu tertentu atau bepergian pada waktu tertentu bisa mendatangkan mudarat, dimana itu semua bertendensi dengan hadis maudlu’.
7. Banyak kelompok yang bukan ahli hadis tertipu dengan hadis-hadis palsu, sehingga mereka mencantumkannya dalam kitab atau risalah yang mereka tulis, serta menjadikannya sebagai hujjah dan menggunakannya dalam forum diskusi.
Maka, Kelompok yang paling pertama melakukan perlawanan terhadap adanya permalsuan hadis ini adalah kalangan sahabat dan tabi’in. Secara historis, selain kelompok Syi’ah, Khawarij dan semisalnya, masih ada kelompok mayoritas umat Islam yang tidak terkotori dengan paham Syi’ah ataupun Khawarij.
Golongan mayoritas ini, apapun corak politiknya, berpegang teguh dengan hadis-hadis yang sahih dan menolak hadis-hadis yang diriwayatkan oleh kelompok-kelompok yang lemah. Mereka membersihkan hadis nabi dari setiap susupan dan menjaganya dari permainan para pengikut hawa nafsu.
Hal ini memungkinkan karena pada saat itu para sahabat Rasulullah SAW masih hidup, dan para tabi’in menguatkan upaya para sahabat melalui proses pengajaran, penyebaran hadis dan penyingkiran terhadap paham Syi’ah dan kebatilan para pemalsu hadis. Upaya yang dilakukan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama setelahnya adalah sebagai berikut:
1. Penghimpunan dan tadwīn hadis.
Hadis tidaklah dikumpulkan dan dibukukan secara resmi pada masa Rasulullah SAW sebagaimana al-Qur’an. Hadis hanya dihapalkan oleh para sahabat kemudian diriwayatkan kepada tabi’in secara lisan. Hampir semua riwayat sepakat bahwa dari kalangan tabi’in, tokoh yang pertama kali berinisiatif untuk menghimpun dan mengkodifikasi hadis adalah ‘Umar bin Abdul Aziz.
2. Periwayatan dengan memperhatikan sanad hadis. Pasca wafatnya Rasulullah SAW para sahabat tidak pernah meragukan antara yang satu dengan lainnya. Begitu juga para tabi’in tidak pernah bimbang dalam menerima hadis yang diriwayatkan sahabat dari Nabi SAW. Hingga pada akhirnya muncul fitnah yang dikobarkan oleh orang Yahudi, yaitu Abdullah bin Saba’ dengan propagandanya yang dibangun berdasarkan tashayyu’ ekstrim yang mengklaim ketuhanan Ali RA. Kemudian mulailah terjadi penyusupan di dalam hadis yang terus berkembang dari masa ke masa.
Ketika Keadaan menjadi demikian, maka para ulama dari kalangan sahabat dan tabi’in berhati-hati dalam meriwayatkan hadis, dan mereka tidak menerima hadis kecuali yang mereka ketahui sanad dan rawi-rawinya yang tsiqoh (terpercaya).
3. Klarifikasi hadis. Ketika muncul pemalsuan terhadap hadis umat Islam senantiasa merujuk kepada para sahabat, tabi’in dan imam-imam ahli hadis. Mereka menjadi sumber rujukan untuk bertanya terkait hadis dan atsar yang beredar di kalangan umat Islam. Demi tujuan klarifikasi inilah, banyak tabi’in atau bahkan sebagian sahabat yang melakukan perjalanan dari satu daerah ke daerah lain untuk mendengarkan hadis dari rawinya yang tsiqoh.
4. Kritik rawi dan penjelasan statusnya.
Kritik rawi dan penjelasan statusnya adalah pintu gerbang yang sangat penting yang digunakan para ulama dalam membedakan hadis sahih dan hadis palsu serta hadis yang kuat dan hadis yang lemah. Para ulama melakukan penelitian terhadap para rawi. Mereka mengkaji perjalanan hidup para rawi, tahun lahir dan wafatnya, sirahnya, serta segala hal yang samar maupun yang nampak dari para rawi hadis.
5. Klasifikasi hadis menjadi sahih, hasan dan da’if. Dengan memperhatikan poin kedua sampai keempat, akhirnya muncul klasifikasi para ulama terhadap kualitas sebuah hadis. Dengan adanya klasifikasi yang dimunculkan dan dijelaskan para ulama, maka semakin mudah bagi umat Islam untuk mendeteksi hadis yang palsu. Karena para ulama mengklasifikasi hadis menjadi sahih, hasan dan da’if, ketika secara tingkatan kualitas jauh lebih buruk dari hadis da’if, maka disebut dengan hadis maudlu’.
Penulis: Iqbal Muhammad Rodli, Mudarris Ma’had Aly Assunniyyah
One thought on “Bahaya Besar Hadis Palsu dan Upaya Perlawanan Ulama Terhadap Penyebarannya”
Matursuwun Gus Iqbal Ilmunepon Mugi” Manfaat lan Berkah Aamiin